Rabu, 19 Agustus 2009

SEJAHTERA BADMINTON CLUB

BERSAMA MEMBANGUN BULUTANGKIS INDONESIA

Archive for February 12th, 2009

BULUTANGKIS KAMPUNG / KAMPUNG BULUTANGKIS

Posted by valsus on 02/12/2009

Senin malam kemarin saya pulang cukup larut. Jam di dinding kantor sudah menunjukkan pukul 10 lewat. Maklum kalo hari Senin memang kebagian tugas ngajar kelas ekstensi, mulai jam 18.30 sampai 20.30. Agendanya cuma kuiz dan pembagian tugas kelompok. Sebelumnya saya putarkan dua buah klip tentang usilnya anak-anak muda Jepang, dan sebuah klip tentang motivasi tentang tujuan hidup. Lumayan penting saya pikir buat mereka, mumpung masih semester-semester awal.

outdoorSama dengan malam-malam setiap saya pulang agak larut. Di jalan-jalan kampung menuju rumah kontrakan saya dapati beberapa kelompok muda-muda dan bahkan pernah ibu-ibu yang semangat bermain bulu tangkis atau biasa disebut juga badminton. Sebuah pemandangan yang bulan-bulan sebelumnya atau bahkan tahun-tahun sebelumnya nggak pernah saya temui.

Demam badminton ternyata bukan hanya monopoli masyarakat kampung. Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat ketemu dan ngobrol dengan bapak-bapak pengurus RT di perumahan. Ternyata sekitar sebulan yang lalu beliau-beliau sudah intens berolah raga badminton juga . Hanya saja ada bedanya. Kalo masyarakat kampung mainnya di jalan-jalan, maka warga perumahan biasanya nyewa lapangan. Maklum mungkin pas uang sedang ada di dompet. Dan yang lebih mengagetkan lagi ternyata sepekan yang lalu telah diresmikan lapangan badminton di ujung jalan buntu RT 1 hasil swadaya warga dan bantuan pihak pengembang. Hebat!

Sepertinya perhelatan piala Uber dan Thomas beberapa waktu lalu telah menghidupkan kembali semangat masyarakat untuk berolah raga badminton. Ditunjang dengan iklan-iklan serta siaran langsung di TV yang akhirnya semakin menyemarakkan olah raga ini. Jadi teringat waktu masih kecil dulu…

Di kampung kami dulu, selalu ada pertandingan badminton antar RT dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI. Ramai! Yang main umumnya anak-anak mudanya. Kebetulan lapangannya ada di halaman tetangga depan rumah. Dan nggak tanggung-tanggung, kalo sudah main bisa sampai larut malam karena lampu penerangan memang sudah disiapkan. Nggak besar hadiahnya, tapi yang penting adalah prestise jadi juara.

rumah-hutanSewaktu SMP dulu saya pengen ikut ekskul badminton di sekolah. Karena yang ndaftar banyak akhirnya harus diseleksi. Sebenarnya nggak susah tesnya. Cuma serve dua kali sekuat mungkin. Dan sepertinya waktu itu power saya memang nggak kuat, belum terlatih sehingga nggak diterima di ekskul badminton. Sejak itu jadi males main badminton. Pindah haluan ke olah raga bola voli. Hingga akhirnya keterusan sampai sekarang.

Kembali ke fenomena badminton, menurut saya cukup banyak nilai positif yang diakibatkan euforia olah raga yang satu ini. Pertama, mengolahragakan kembali masyarakat, khususnya para anak mudanya. Olah raga ini cukup murah. Berbekal hanya sepasang raket dan sebuah shutle kock, ajak seorang teman kemudian tinggal mencari tempat yang agak lapang dan aman dari gangguan kendaraan. Kedua, para pemuda punya aktifitas yang positif untuk mengisi waktu luangnya. Tidak hanya cangkrukan, rokokan, main kartu, dsb. Dan yang ketiga semoga bisa menyemangati para atlet dan pelatih badminton supaya bisa mengembalikan lagi supremasi Indonesia di jagad bulu tangkis dunia.

Posted in Berita | Leave a Comment »

SAINA NEHWAL, Pebulutangkis Masa Depan India

Posted by valsus on 02/12/2009


By Asport, on 20-11-2008 09:18


Saina Nehwal adalah fenomena baru bulutangkis India. Bertahun-tahun olahraga ini dikenal sebagai olahraga kaum pria. Sementara prestasinya di tingkat internasional pun timbul tenggelam. Kalau pun orang mengenal nama pemain India,mungkin hanyalah Prakash padukone yang masuk jajaran elite dunia pada 1980-an atau juara sesaat Pullela Gopichand.Namun dalam usia 18, Saina bisa masuk peringkat sebelas dunia. Ia bahkan memiliki peringkat lebih tinggi dari pemain utama kita, Maria Kristin Yulianti yang berada di peringkat 14. Bulan lalu, ia memastikan diri menjadi juara dalam kejauraan dunia tingkat yunior.

Sania Mirza memang lebih dulu terkenal dibandingkan Saina. Karena itulah, Saina merasa beruntung bisa satu kontingen bersamanya saat mewakili India di Olimpiade Beijing, Agustus lalu. Apalagi ia kemudian mampu menunjukkan prestasi gemilang dengan lolos ke babak delapan besar. “Olimpiade Beijing benar-benar mengubah hidup saya. Orang-orang tidak lagi sulit membedakan antara saya dengan Sania,” katanya.

Seperti juga Sania, Saina berasal dari Hyderabad. Ia melalui jalan berliku untuk meraih posisinya seperti sekarang. Ia selalu kalah setiapkali bertemu dengan pemain peringkat dunia dan merasa semua yang dijalaninya adalah sia-sia.

Untungnya, ia memiliki sandaran yang kuat yaitu kedua orang tuanya dan pelatihnya, Pullela Gopichand. “Orang tuaku mengawasiku di luar lapangan, sementara di lapangan semua di bawah kekuasaan pelatihku, Gopi,” kata Saina.

Bahkan legenda India, Prakash Padukone pun menganggap Saina sebagai masa depan bulu tangkis India. Mantan juara All England ini bahkan meramalkan Saina akan menempati peringkat utama dalam waktu tiga tahun. “Ia memiliki semua yang diperlukan seorang juara, kualitas teknik, fisik, mental dan rasa percaya diri,” kata Prakash.

“Jika ia tetap fokus dan berlatih keras, ia kan meraih posisi puncak,” kata Prakash yang menamatkan karir maestro bulutangkis Rudy Hartono di All England. “Saat ini ia berada di peringkat 11. Sebentar lagi ia akan masuk posisi 10 besar

Hati hati Maria Kristin …

Posted in Berita | Leave a Comment »

Badminton: The U.S.’s Great Indonesian (and Vietnamese, and Laotian) Hope

Posted by valsus on 02/12/2009

By Duff Wilson

bob

Tony Gunawan, the 2000 gold medalist in badminton for Indonesia, moved to California in 2002 to study computer science and coach. Gunawan, considered perhaps the greatest doubles badminton player of all time, teamed with Howard Bach in 2005 to win America’s only world championship in the sport.

But Gunawan is ineligible for the Olympics, where citizenship rules forbid him from competing. Gunawan didn’t get his green card until 2006. It takes three to five years after that to get U.S. citizenship.

So the world championship team split up before the Beijing Olympics, and Bach went looking for another partner.

“Howard is a U.S. citizen and needed to find a new partner,” Gunawan said in a phone interview. “That’s why we split.”

Bach, born in Vietnam and raised in California, found Khan “Bob” Malaythong, a native of Laos who grew up in Maryland. Malaythong is rated lower than Gunawan, but he has the key credential: Malaythong has been a U.S. citizen since 2006.

“It was very good for USA Badminton when he did get his citizenship,” a USOC spokesman, Cecil Bleiker, said in a phone interview. Even so it will be tough for Bach and Malaythong to advance far in the Olympics, where other countries, mainly from East Asia, are dominant in the sport.

Fortunately for the Americans, Olympic rules limit the dominant countries. “Thailand may have 12 teams that are in the top 12 in the world, but they may only send 2 teams,” Bliker said.

Gunawan, meanwhile, may not be able to get citizenship until 2011, when he will be 36 years old. He has not decided whether to naturalize. “I’ll see how it goes – I’ve got four more years to decide,” he said.

Asked what the U.S. could do to improve its performance in arguably the world’s second most popular sport, Gunawan said, “We need more foreign presence in the sport to make the sport level go up.”

Posted in Berita | Leave a Comment »

KURIKULUM BULUTANGKIS

Posted by valsus on 02/12/2009

10 Februari, 2009 – Published 15:46 GMT

Heyder Affan
Producer BBC Siaran Indonesia

Christian: Bulutangkis mestinya masuk kurikulum

Legenda hidup bulutangkis Indonesia, Christian Hadinata, kini 60 tahun, mengatakan, olahraga bulutangkis harus masuk dalam kurikulum sekolah, jika ingin keunggulan Indonesia di kancah internasional kembali diakui.

“Tidak cukup dengan bersandar kepada klub bulutangkis, yang hanya terfokus di Pulau Jawa. Kalau sekolah kan bisa menjangkau semua wilayah di Indonesia,” kata Christian Hadinata kepada BBC di Jakarta.

Christian Hadinata mengaku sedih setiap melihat sekolah-sekolah yang halamannya dipenuhi lapangan basket, dan bukan lapangan bulutangkis.

“Dari sini saja sudah terlihat, betapa bulutangkis belum dilihat sebagai olahraga pilihan,”ungkapnya.

Apabila program ‘bulutangkis masuk sekolah’ itu nantinya bisa direalisasikan, Christian yakin olahraga bulutangkis kelak tidak akan menjadi sekedar olahraga sambilan.

Tokoh BBC Siaran Indonesia, menampilkan Christian Hadinata, akan disiarkan Hari Minggu, 1 Maret, siaran pukul 05.00 WIB.

Versi panjang Tokoh dengan tamu Christian Hadinata juga akan disiarkan oleh sejumlah radio FM mitra BBC, Senin, 2 Maret, pukul 06.00 WIB.

Fokus Jawa

Dia juga yakin kurikulum bulutangkis itu akan memudahkan pemantauan terhadap anak-anak yang berbakat.

“Dan tidak sampai di situ, kita juga bisa membina atlit berbakat itu,” tandasnya.

Selama ini menurutnya, pembinaan bulutangkis masih bertumpu kepada pembinaan di klub-klub bulutangkis, yang cuma terfokus di Pulau Jawa.

“Padahal, ada banyak pemain yang mungkin berbakat di luar Jawa, yang kemudian tidak berkembang, karena orang tuanya mungkin tak mampu membawanya ke pulau Jawa,” jelas Christian, yang menggantungkan raket sebagai pemain di tahun 80-an.

Kehadiran program bulutangkis di sekolah menurut Christian, mendesak dilakukan, karena Indonesia sekarang kekurangan pemain berkualitas ’super’.

Hal inilah yang mengakibatkan prestasi bulutangkis terus menurun.

“Setidaknya jika dibandingkan saat saya masih memegang raket di tahun 70-an,” tandasnya.

Penurunan prestasi itu, menurutnya, terlihat dari dominasi China terhadap supremasi Indonesia di turnamen seperti Thomas Cup, Uber Cup serta Piala Sudirman.

“Walaupun dari beberapa nomor, seperti ganda campuran dan ganda putra, kita masih cukup baik, tapi secara umum ada penurunan,” kata Christian saat ditemui di Pelatnas Bulutangkis, Cipayung, Jakarta Timur.

Christian yang pernah menggondol juara ganda putra bersama Ade Chandra di turnamen All England 1972 dan 1973, menjelaskan, penurunan prestasi ini disebabkan “Indonesia kekurangan pemain berkualitas super”.

Menurutnya, dalam persaingan yang makin ketat sekarang ini, tidak cukup pemain berkualifikasi baik.

“Harus super baik,” tandas Christian, yang kini dipercaya sebagai salah-seorang pengurus PB-PBSI.

Lelaki kelahiran Purwokerto, 11 Desember 1949 ini, menjelaskan, bakat yang melekat pada seorang pemain, tidaklah cukup untuk memenuhi kriteria super, seperti yang dia maksud.

Menurutnya, seseorang bisa memenuhi super apabila memenuhi semua aspek yang dibutuhkan bagi seorang atlit bulutangkis.

“Selain bakat, dia harus kuat secara fisik, mentalnya, juga kemauannya dalam berlatih secara optimal,” jelas Christian.

Diakuinya, sejauh ini dia belum menemukan figur pemain-pemain super yang pernah dilahirkan, seperti Susi Susanti, Mia Audina, atau pasangan Rexy Mainaki dan Ricky Ahmad Subagya.

“Di Pelatnas yang ada sekarang itu merupakan yang terbaik dari seluruh Indonesia. Tapi baik saja, nggak cukup,” kata Christian, yang dulu dikenal sebagai pemain spesialis ganda ini.

Juara All England 1972-1973

Bersama pasangannya Ade Chandra, Christian Hadinata mengukir prestasi yang disebutnya “mengesankan”, yaitu meraih juara All England tahun 1972 pada ganda putra.

Prestasi ini mereka ulang setahun kemudian.

“Saya masih ingat, saat itu saya bertanding dengan baju lengan panjang, dengan baju hangat yang saya pinjam seorang temannya,” kisahnya.

Di kejuaraan yang sama di tahun 1979, Christian dan Imelda Gunawan kembali mengharumkan Indonesia, dengan menjuarai ganda campuran.

Empat tahun kemudian, tahun 1983, bersama pasangannya Bobby Ertanto, mereka mengulang prestasi yang sama untuk ganda putra.

Christian adalah pemain pertama yang meraih dua gelar juara dunia dalam waktu satu tahun.

Tahun 1980, dia Juara Dunia ganda putra bersama pasangan Ade Chandra dan Juara Dunia ganda campuran bersama Imelda Wiguno.

Kemenangan demi kemenangan juga dia torehkan pada turnamen seperti Asian Games, kejuaraan dunia, serta Asian Games.

Pada tahun 1986 atau dalam usia 37 tahun, Christian menggantungkan raketnya.

Dia lantas beralih menjadi pelatih, dan mulai saat itulah dia “mewariskan” ilmunya kepada anak didiknya, utamanya untuk ganda putra atau campuran.

Salah satu anak didiknya yang antara lain bisa disebut berhasil adalah pasangan Ricky Ahmad Subagya serta Rexy Mainaky.

Hidup untuk bulutangkis

Hidup Christian Hadinata lebih dari separohnya didedikasikan kepada olahraga bulutangkis, sejak dia terjun di kejuaraan nasional olahraga ini di tahun 1971. Hingga usianya menginjak 60 tahun, bulutangkis masih mengisi waktunya.

“Saya ini berhutang kepada bulutangkis Indonesia dan PBSI, sehingga saya harus melunasinya sampai saya tidak sanggup lagi,” ungkapnya, serius.

Kini, walaupun dia tidak lagi memegang status pelatih nasional, Christian dipercaya duduk di kepengurusan PB-PBSI.

Sebagian penghuni pelatnas dan sejumlah pelatih menggambarkan sosok Christian sebagai orang “menyerahkan” hidupnya untuk dunia bulutangkis.

Dia juga digambarkan sebagai pelatih yang berdisiplin, serius, dan telaten.

“Pak Christian sudah datang ke lokasi latihan, sebelum para pemain datang,” kata salah-seorang pemain muda, Maria Christi Yulianti.

Posted in Berita | Leave a Comment »

LASKAR BULUTANGKIS, SEBUAH SISI LAIN DARI LASKAR PELANGI

Posted by valsus on 02/12/2009

Written by Hendri Kustian,

Sebuah karya mempesona dalam sebuah novel yang berjudul Laskar Pelangi berhasil menjadi salah satu buku yang menjadi best seller nasional. Novel yang menceritakan perjuangan sebelas anak Melayu Belitong bisa jadi merupakan persfektif anak-anak negeri lainnya. Novel yang diangkat dari kisah nyata ini mendapat pujian dari berbagai pihak sebagai cerita yang inspiratif, motivator dan penuh perjuangan. Sebuah karya mempesona dalam sebuah novel yang berjudul Laskar Pelangi berhasil menjadi salah satu buku yang menjadi best seller nasional. Novel yang menceritakan perjuangan sebelas anak Melayu Belitong bisa jadi merupakan persfektif anak-anak negeri lainnya. Novel yang diangkat dari kisah nyata ini mendapat pujian dari berbagai pihak sebagai cerita yang inspiratif, motivator dan penuh perjuangan. Para tokoh nasional bahkan ikut memberikan apresiasi atas kisah ini, mulai dari Dirut Telkom, ketua Komnas perlindungan anak sampai pelaku seni sekelas Garin Nugroho dan Sapardi Djoko Darmono.

Bulutangkis menjadi salah satu bagian yang patut dicermati oleh pembaca karena bulutangkis di pilih sebagai cita-cita Si Ikal yang merupakan tokoh utama cerita ini. Ikal mempunyai plan A sebagai tujuan hidupnya untuk menjadi penulis yang berbobot atau pemain bulutangkis yang berprestasi. Jika Plan A gagal sebagai cadangan dipilih plan B berupa cita-cita menjadi penulis buku tentang bulutangkis. Tiga judul buku sudah dicanangkan yaitu Tata Cara Bermain Bulutangkis, Faedah Bulutangkis dan Bulutangkis Untuk Pergaulan. Ikal kecil sudah bercita-cita begitu tinggi buat bulutangkis.

Ketika kisah melompat ke beberapa belas tahun kemudian Andrea Hirata menuliskan pada buku nya sebagai berikut : ” Buku itu sebenarnya telah selesai ku tulis, seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata. Untuk menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi bulutangkis bulutangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati kehidupan sosial beberapa mantan pemain bulutangkis terkenal. Aku juga mempelajari budaya pop dan trend terbaru pengembangan kepribadian. Tapi penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbangan komersial. Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu buku-buku penuh dengan tulisan jorok seperti kondom, masturbasi dan orgasme karena mereka penerbit itu telah melupakan prinsip-prinsip men sana in corpore sano”

Sebuah ironi pada negeri bulutangkis tetapi penerbit-penerbit buku tidak melirik tema tersebut. Beberapa bulan yang lalu, mantan atlet bulutangkis Lilik Sudarwati berhasil menerbitkan buku tidak semata-mata karena dukungan penerbit. Atas sokongan berbagai pihak terutama dari Matshusita Fundation yang akhirnya buku berjudul ‘Mental Juara Modal Atlet Berprestasi’ tersebut bisa diluncurkan. Dengan reputasi Andrea Hirata yang semakin mengkilap, mudah-mudahan buku-buku tentang bulutangkis bisa segera beredar.

Kembali membuka halaman buku laskar pelangi halaman 153, menceritakan kecerdikan salah satu anggota laskar itu. Seorang bocah SD bernama Mahar diceritakan sebagai berikut : ” Mahar adalah Jules Verne kami. Ia penuh ide gila yang jarang terpikirkan oleh orang lain, walaupun tak jarang idenya itu absurd dan lucu. Salah satu contohnya adalah ketika ketua RT punya masalah dengan televisinya.TV hitam putih satu-satunya hanya ada di rumah beliau dan tidak bisa dikeluarkan karena kabel antena nya sangat pendek dan ia kesulitan mendapatkan kabel untuk memperpanjangnya. Kabel itu tersambung pada antena di puncak pohon randu. Keadaan mendesak sebab malam itu ada pertandingan final badminton All England antara Svend Pri melawan Lie Sumirat. Begitu banyak penonton akan hadir, tapi ruangan TV sangat sempit. Sejak sore Pak Ketua RT tak enak hati karena banyak handai taulan yang akan bertamu tapi tak kan semua mendapat kesempatan menonton pertandingan seru itu. Ketika beliau berkeluh kesah kepada kepala sekolah kami, maka Mahar yang sudah kondang akal dan taktiknya segera di panggil dan ia muncul dengan ide ajaib ini : “Gambar TV itu bisa dipantul-pantulkan melalui kaca, ayahanda guru,” kata Mahar berbinar binar dengan eksperesi lugunya. Pak harfan melonjak Girang seperti akan meneriakkan “eurika!” Maka digotonglah dua buah lemari pakaian berkaca besar ke rumah ketua. Lemari pertama diletakkan di ruang tamu dengan posisi frontal terhadap layar TV dan diruangan itu paling tidak menampung 17 orang. Sedangkan lemari kedua diletakkan di beranda. Lemari kaca kedua diposisikan sedemikian rupa sehingga dapat menangkap gambar TV dari lemari kaca pertama. Ada sekitar 20 orang menonton TV melalui layar kaca kedua. Tak seorangpun penonton yang tak kebagian melihat aksi Lie Sumirat. Penonton merasa puas dan benar-benar menonton dari layar kaca dalam arti yang sesungguhnya. Meskipun Svend Pri yang kidal dilayar TV menjadi normal pada layar kaca yang pertama dan kembali menjadi kidal pada layar kaca yang kedua”

Dari kutipan buku tersebut paling tidak kita mendapatkan dua hal. Yang pertama, pada era 70-an antusiasme masyarakat Indonesia untuk menonton pertandingan bulutangkis sangat besar. Api gelora itu sekarang seakan-akan mulai padam karena tersaingi oleh berbagai jenis hiburan dan semakin melunturnya semangat nasionalisme negeri ini. Hal kedua yang perlu dicermati adalah pada era itu masyarakat sudah bisa menyaksikan pertandingan jagoannya secara luas. Sayangnya setelah dua puluhan tahun berlalu, masyarakat umum semakin kesulitan menonton pertandingan bulutangkis. Memang disetiap rumah bahkan rumah kardus sekalipun sudah mempunyai TV tetapi siaran event-event bulutangkis sekarang lebih banyak di kuasai oleh televisi berbayar. Kalau era 70-an masyarakat bisa menonton Lie Sumirat maka di era milenium ini masyarakat umum tidak bisa menyaksikan siaran langsung titisannya Lie Sumirat saat bertanding di event paling bergengsi. Tangisan Taufik Hidayat saat mempersembahkan emas Olimpiade hanya bisa kita saksikan lewat tayangan-tayangan ulang.

Semangat laskar pelangi dalam perjuangannya terselip semangat Ikal dan Mahar yang ingin berbuat sesuatu buat bulutangkis. Kalau ada lebih banyak yang berbuat seperti itu buat bulutangkis maka selayak mereka disebut sebagai Laskar Bulutangkis. Semangat laskar bulutangkis ini tidak hanya ada di pinggiran Belitong tetapi mungkin saja ada di pojok-pojok tanah air ini selama bertahun-tahun. Semangat laskar bulutangkis ini diharapkan mengangkat kembali kejayaan bulutangkis Indonesia

Posted in Berita | Leave a Comment »

FERRY SONNEVILLE

Posted by valsus on 02/12/2009

Nama:
Ferry Sonneville

Nama Lengkap:
Ferdinand Alexander Sonneville

Lahir:
Jakarta 3 Januari 1931

Meninggal:
Jakarta, 20 November 2003

Isteri:
Yvonne Theresia de Wit (Mebnikah September 1954)

Anak:
Ferdinand Rudy Jr. (meninggal usia 21 tahun)
Genia Theresia Sonneville
Cynthia Guedolyn Sonneville

Cucu:
Dua orang

Ayah:
Dirk Jan Sonneville (tenis)

Ibu:
Leonij Elisabeth Hubeek (Bulu tangkis)

Pendidikan:
Erasmus University, Belanda

Karir Olahraga:
Pemain/Pelatih Jiujitsu 1949-1955
Kapten bermain/Pelatih Indonesia merebut dan mempertahankan Piala Thomas tiga kali berturut-turut 1958, 1961 dan 1964.
Juara Belanda Terbuka (1955-1961), Glasgow (1957), Prancis Terbuka (1959-1960), Kanada (1962), serta runner up All England (1959)
Pendiri PB PBSI (1951) dan pendiri KONI (1966)
Ketua Umum KONI (1970)
Anggota Pengurus Asian Games Federation Council (1970)
Chef de Mission kontingen Indonesia ke olimpiade (1971)
Presiden International Federation Badminton/IBF (1971-1974)
Ketua Umum PBSI (1981-1985)

Karir Usaha:
Vayatour
Chairman Executive Board PT. Lippo Cikarang
Pemilik PT. Ferry Sonneville & Co
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) periode 1986-1989
Presiden dan Anggota Executive Committee Federasi Realestat Internasional (FIABCI) sejak 1989.
Ketua Advisory Council IESC (International Executive Service Corp)

Karir Bidang Pendidikan:
Perintis Yayasan Trisakti mewakili Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB)
Pendiri Himpunan Pembina Perguruan Tinggi Swasta (HIPPERTIS)
Pendiri Asosiasi Perguruan Tinggi Katholik Indoneisa (APTIK)
Warga Utama dan Anggota Yayasan Atma Jaya
Anggota Yayasan Fatmawati
Anggota Yayasan Bhakti Medika
Anggota Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC)
Anggota Yayasan Gedung Arsip Nasional
Forum Indonesia Nederland (FINED), dll.

Penghargaan:
Satya Lencana Kebudayaan (1961)
Tanda Jasa Bintang RI Kelas II (1964)
”Knighthood” dari Gereja Katolik Roma (1972)
FIABCI Medal of Honour, Melbourne (1988).

Sumber:
PBSI, DPP REI, Kompas 21/11/03, Media Indonesia 21/11/03/Sinar Harapan 20/11/03/Pikiran Rakyat 21/11/03


FERRY SONNEVILLE (FERDINAND ALEXANDER)

Indonesia berduka. Ferry Sonneville, ‘pahlawan’ tiga kali meraih Piala Thomas, meninggal dunia di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan, pukul 05.20 WIB, Kamis 20 November 2003. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) ini, tutup usia akibat kanker darah (leukemia) yang telah diderita selama satu setengah tahun. Jenazah Ferry dikremasi di Krematorium Nirwana, Bekasi, Sabtu (22/11) pukul 10.00, setelah diadakan misa requiem di Gereja Katedral, Jumat (21/11).

Pebulu tangkis Indonesia di era 1950 hingga 1960-an ini pantas disebut sebagai pahlawan olahraga Indonesia. Pria kelahiran Jakarta 3 Januari 1931 ini, gigih berjuang demi kejayaan olahraga Indonesia. Ia ikut mendirikan PB PBSI (1951), ikut mendirikan KONI (1966), Ketua Umum KONI (1970), anggota Pengurus Asian Games Federation Council (1970), Chef de Mission kontingen Indonesia ke olimpiade (1971), Presiden International Federation Badminton/IBF (1971-1974), dan Ketua Umum PBSI (1981-1985).

Semasa mudanya, bahkan ia rela mengorbankan kuliahnya di Amerika untuk memperkuat tim Indonesia meraih Piala Thomas pertama kali pada 1958. Ia ikut berjuang dan berjaya merebut dan mempertahankan Piala Thomas tiga kali berturut-turut 1958, 1961 dan 1964. Ia menjadi Kapten bermain/Pelatih Indonesia (1958, 1961 dan 1964).

Pada saat merebut Piala Thomas pertama kali, Tim Indonesia yang diperkuat Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Eddy Yoesoef, Nyoo Kim Bie, Tan King Gwan, Lie Po Djian, dan Olich Solihin tampil menggemparkan ketika membabat sang juara bertahan Malaya, 6-3 di final.

Selain dalam beregu, Ferry yang memiliki rambut putih sejak usia 19 tahun, itu juga mengukir prestasi di nomor perseorangan, dengan menjuarai Belanda Terbuka (1955-1961), Glasgow (1957), Prancis Terbuka (1959-1960), Kanada (1962), serta runner up All England (1959) dikalahkan Tan Joe Hok di final.

Kesenangannya pada dunia olahraga mengalir dari darah kedua orang tuanya. Ayahnya, Dirk Jan Sonneville adalah jago olah raga tenis sebelum Perang Dunia II. Ibunya, Leonij Elisabeth Hubeek adalah juara bulu tangkis antara tahun 1935-1945.

Ia seorang tokoh olahraga Indonesia yang hidupnya lengkap. Selain hebat sebagai pemain bulu tangkis, juga sukses di bidang studinya, gemilang ketika memegang pucuk pemimpin organisasi olahraga, pemimpin akademi, maupun pemimpin organisasi pengusaha.

Ferry yang terlahir dengan nama Ferdinand Alexander Sonneville, ini tidak hanya andal sebagai pemain, Ferry juga andal dalam berorganisasi. Ia orang Indonesia pertama menjabat Presiden Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) untuk tiga kali masa jabatan tahun 1972-1975. bahkan di dalam negeri, Ferry bersama Sudirman, Ramli Rikin, Sumantri, dan kawan-kawan, yang mendirikan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tahun 1951. Kemudian, ia menjabat Ketua Umum PB PBSI periode 1981-1985.

Alumni Erasmus University, Belanda, ini saat menjabat Ketua Umum PBSI dikenal sebagai pemimpin yang sangat akomodatif dan mampu melakukan pendekatan-pendekatan personal kepada para pemain. Setidaknya hal ini tercermin dari pengakuan Icuk Sugiarto, juara dunia bulu tangkis 1983. Icuk mengatakan, “Beliau selain bertindak sebagai ketua umum, juga mampu bertindak sebagai bapak. Beliaulah yang mengantarkan saya menjadi juara dunia 1983.”

Ferry yang dikenal sebagai seorang yang ulet dan suka tantangan ini juga aktif dan sukses di semua bidang yang didumulinya. Saat Ferry menjadi karyawan Bank Indonesia di Amsterdam (1964), ia merintis lahirnya International Governmental Group on Indonesia (IGGI). Ketika itu, ia mengusulkan kepada Pemerintah RI untuk mengundang Prof Jan Tinbergen, ekonom kondang Belanda dengan reputasi internasional.

Di bidang usaha, Ferry sempat pula membangun perusahan di bidang pariwisata yakni, Vayatour. Perusahaan itu didirikan pertama kali oleh kakak beradik dr. Hoksono Haditono dan (alm) Prakasito Hadisusanto. Perusahaan ini didirikan dengan maksud mendukung animo masyarakat yang pada waktu itu sangat antusias pada tim bulutangkis Indonesia. Usaha utama yang dilakukan saat itu adalah menangani acara perjalanan ke luar negeri dalam kaitannya menampung animo pendukung tim bulutangkis Indonesia.

Di bidang usaha properti, ia juga sukses. Ia ikut terlibat di berbagai perusahaan yang membangun perumahan, kawasan komersial, perkantoran, pengembangan industi dan pusat rekreasi. Dia adalah Chairman Executive Board pada PT. Lippo Cikarang, yang mengembangkan kota baru di Cikarang, Bekasi. Ia juga pemilik perusahaan PT. Ferry Sonneville & Co yang antara lain mengembangkan perumahan Feery Sonneville di Bukit Sentul. Ia pernah menjabat Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) periode 1986-1989, dan Presiden dan Anggota Executive Committee Federasi Realestat Internasional (FIABCI) sejak 1989.

Pada tahun terakhir, pemegang bintang jasa kelas III dari Presiden (pertama) Bung Karno (1964), ini berniat menulis buku otobiografinya, tetapi tak kesampaian.” Menurut Cynthia Givendolyn (45), anak bungsu dari tiga anak almarhum, di sela-sela menerima pelayat di rumah duka, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Slipi, Jakarta Barat, 20/11/03, penulisan buku itu mudah-mudah dapat mereka lanjutkan.

Ferry adalah sosok manusia bersahaja yang bergaul secara global. Ia sembilan tahun menetap di Rotterdam, Belanda, sejak tahun 1955. “Ia berdarah Belanda, Cina, dan Indonesia, tetapi nasionalismenya tak diragukan.,” kata Tan Joe Hok, pebulu tangkis Indonesia pertama menjuarai turnamen paling bergengsi di bulu tangkis dunia, All England, tahun 1959, dengan mengalahkan Ferry Sonneville di final.
Ferry menikah dengan Yvonne Theresia de Wit September 1954, dan dikaruniai tiga anak. Pada akhir hayatnya, ia mempunyai dua cucu dari anak keduanya, Genia Theresia, yang kini bermukim di Hongkong. Anak sulungnya, Ferdinand Rudy, sudah terlebih dulu meninggal di London, Inggris, tahun 1976, ketika masih berusia 21 tahun.

Ia dididik dalam keluarga bersahaja dan mandiri. Lingkungan keluarga ini membentuknya memiliki kemandirian dan kegigihan berusaha. Karier olahraga dimulai bukan pada bulu tangkis, melainkan olahraga bela diri Jiujitsu. Bahkan ia sempat mejadi pelatih olahraga tersebut pada 1949-1955 dan sempat menjadi orang yang turut membangun Persatuan Judo Seluruh Indonesia. Anak didiknya di antaranya adalah Faisal Abda’oe (mantan Dirut Pertamina), Marsekal R. Oetomo (Mantan KSAU), dan Ahmad Bakrie (pendiri Bakrie & Brothers).
Ketika perkembangan bulutangkis di Indonesia mulai bangkit pada tahun tersebut, ia pun ikut bergabung.

Setelah lulus dari sekolah di Jakarta, ia melanjutkan studi ke sekolah ekonomi Erasmus University di Rotterdam, Belanda. (1955-1965) dan sempat bekerja di Bank Indonesia cabang Rotterdam. Kendati sudah bekerja, Ferry tidak sepenuhnya meninggalkan dunia bulutangkis. Bahkan pimpinan di kantornya malah menyuruh Ferry berlatih bulutangkis dan bergabung dalam tim Piala Thomas Indonesia.

Di bidang pendidikan ia adalah Perintis Yayasan Trisakti mewakili Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), pendiri Himpunan Pembina Perguruan Tinggi Swasta (HIPPERTIS), pendiri Asosiasi Perguruan Tinggi Katholik Indoneisa (APTIK), Warga Utama dan Anggota Yayasan Atma Jaya, Anggota Yayasan Fatmawati, Anggota Yayasan Bhakti Medika dan Anggota berbagai lembaga kesejahteraan sosial seperti Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC), Yayasan Gedung Arsip Nasional, Forum Indonesia Nederland (FINED), dll.

Di dunia internasional dia juga dikenal ketokohannya antara lain sebagai Presiden FIABCI (1995-1996), Presiden International Badminton Federation (1971-1974) dan Chairman Advisory Council of International Executive Corps for Indonesia (1981-1997).

Pemerintah Indonesia menghargai semua karya dan jasa kepada bangsa dan negara itu antara lain dalam bentuk penganugerahan Satya Lencana Kebudayaan (1961), Tanda Jasa Bintang RI Kelas II (1964). Dari masyarakat internasional dia menerima ”Knighthood” dari Gereja Katolik Roma (1972) dan FIABCI Medal of Honour, Melbourne (1988).

Posted in Tokoh | Leave a Comment »

MERAH PUTIH TERUSLAH KAU BERKIBAR !

Posted by valsus on 02/12/2009

(Ditulis tanpa maksud mendeskreditkan atau menyalahkan pihak manapun juga)

gresya-03BENDERA

biar saja ku tak seindah matahari
tapi selalu ku coba tuk menghangatkanmu

biar saja ku tak setegar batu karang
tapi selalu ku coba tuk melindungimu

biar saja ku tak seharum bunga mawar
tapi selalu ku coba tuk mengharumkanmu

biar saja ku tak seelok langit sore
tapi selalu ku coba tuk mengindahkanmu

ku pertahankan kau demi kehormatan bangsaku
ku pertahankan kau demi tumpah darah
semua pahlawan-pahlawanku

merah putih teruslah kau berkibar
di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini

” Bendera ” Coklat menyambungkan saya dengan apa yang disebut nasionalisme kendatipun sungguh amat simbolik. Tapi, manakala dibenturkan dengan kondisi mutakhir pelatnas bulutangkis Cipayung saat ini, terus terang saya tak cukup punya kebanggaan pada nation state ini.

Lirik lagu Bendera yang dinyanyikan oleh group band Cokelet ini, hendaknya menjadi inspirasi bagi para pemain pelatnas PBSI , juga para pengurus PBSI Pusat agar konflik yang melanda Pelatnas belakangan ini, yang berkaitan dengan ‘ uang ‘ kontrak ‘ dengan pihak sponsor (Yonex) ataupun apresiasi pengurus terhadap pemain dapat segera selesai dengan ‘ win – win ‘ solution. Dua turnament besar menanti di depan mata ! All England 2009 dan Swiss Open 2009. Mari rapatkan barisan, kuatkan hati, singkirkan ego demi merah putih yang HARUS terus berkibar ! Semoga !

Posted in Berita | Leave a Comment »

VITA MASIH INGIN BERPASANGAN DENGAN FLANDY

Posted by valsus on 02/12/2009

Kompas, Rabu, 11 Februari 2009 | 19:30 WIB

JAKARTA, RABU - Atlet bulu tangkis putri, Vita Marissa, meminta kenaikan kontrak dengan harapan pengabdiannya selama 12 tahun di pelatnas dihargai.

flavi“Saya memang minta naik, lebih karena minta dihargai pengabdian saya selama 12 tahun, bukan semata-mata melihat nilai nominalnya,” ujar Vita saat jumpa wartawan di Jakarta, Rabu (11/2).

Pemain spesialis ganda yang saat ini berperingkat 36 dunia pada ganda campuran itu, mengajukan surat pengunduran diri dari pelatnas pada Selasa (10/2) setelah tidak mencapai kesepakatan kontrak dengan PB PBSI. Menurutnya, ia mengajukan kenaikan kontrak 20 persen dari kontrak sebelumnya sebesar Rp 400 juta per tahun.

Pemain asal Klub Tangkas Alfamart itu menyesalkan PBSI yang hanya mempertimbangkan peringkat ganda campurannya yang turun dari 17 dunia saat bersama Flandy Limpele menjadi 44 dunia pada 1 Januari 2009, setelah ia berpasangan dengan Muhammad Rijal usai Olimpiade Beijing.

“Saya baru bermain lima bulan bersama Rijal, sementara prestasi saya pada ganda putri tidak dianggap,” kata Vita yang saat ini berperingkat lima dunia pada ganda putri bersama Liliyana Natsir.

Didampingi dokter Carmen Yahya yang banyak menjelaskan masalah cedera bahu kanannya, Vita mengatakan, sejak semula ia memang keberatan bermain pada ganda putri dengan pertimbangan cederanya itu.

Meski demikian, saat dipasangkan dengan Liliyana pada pertengahan 2007, Vita tidak menolak bahkan langsung menjuarai China Masters pada pertandingan pertama mereka. Hingga saat ini, pasangan tersebut masih menjadi ganda putri terbaik nasional meski keduanya harus bermain rangkap pada ganda campuran juga.

Bersama Flandy

Setelah memutuskan keluar dari Asrama Cipayung, gadis kelahiran 4 Januari 1981 itu mengaku belum memikirkan langkah selanjutnya untuk karier bulu tangkisnya. Yang jelas, katanya, ia akan memulai karier sebagai pemain profesional dan hingga saat ini masih terus berlatih meski tidak lagi di Cipayung.

Vita yang tersingkir di perempat final Olimpiade Athena saat berpasangan dengan Nova Widianto dan kandas di semifinal Olimpiade Beijing ketika berduet dengan Flandy Limpele itu, berharap dapat kembali berpasangan dengan Flandy. “Peluang itu masih ada karena saya masih terus berhubungan dengan Flandy,” kata pebulu tangkis yang masuk pelatnas sejak 6 November 1996 itu.

Flandy yang juga sudah keluar dari pelatnas, saat ini berpasangan dengan pemain Rusia, Anastasia Russkikh.

Berpasangan dengan Flandy sejak 2006 hingga Olimpiade 2008, Vita berhasil meraih lima gelar, di antaranya tiga gelar Super Series yakni Jepang 2006 serta Singapura dan Perancis 2007 dan menjadi ganda campuran kedua setelah Nova Widianto/Liliyana Natsir.

Terlepas dari semua rencananya ke depan, langkah pertama yang akan diambilnya adalah melakukan pemeriksaan MRI terhadap bahu kanannya yang sejak dioperasi pada Oktober 2004 tidak pernah diperiksanya. “Seharusnya diperiksa setahun sekali, tetapi ia sering tidak mau,” kata dokter Carmen, salah satu orang terdekatnya selain Richard Mainaky, pelatihnya sejak masih bermain di Klub Tangkas.

Soal pelatihnya itu, Vita mengatakan, “Paling berat meninggalkan Kak Richard karena dia yang membimbing saya sejak masih di Tangkas dulu.” Ia juga menyebutkan, Richard lah yang selama ini selalu memberi solusi atas setiap permasalahannya, termasuk saat ia jenuh menjalani kehidupan di pelatnas selama 12 tahun. “Setiap kali Kak Richard selalu bisa menangani pemainnya, sayangnya kali ini PBSI tidak melibatkan pelatih,” katanya.

CAY
Sumber : Antara

Posted in Berita | Leave a Comment »